Tempat Wisata di Malang

Post power syndrome

Pengertian dan gejala
Secara umum, orang yang mengalami post power syndrome sebenarnya diliputi rasa kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan kerinduan. Selain itu, harga dirinya juga menurun, merasa tidak lagi dihormati dan terpisah dari kelompok. Semua ini biasanya tidak begitu disadari oleh yang bersangkutan.

Gejala ini umumnya terjadi pada orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau jabatan dan ketika jabatan itu sudah tak lagi dipegang, muncullah berbagai gejala psikologis atau emosional yang sifatnya kurang positif.

Beberapa gejala biasanya dapat dibagi ke dalam 3 ranah.
1. Gejala fisik, misalnya tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah, sakit-sakitan.
2. Gejala emosi, misalnya mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah.
3. Gejala perilaku, misalnya menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum

Penyebab
Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Pensiun merupakan masa seseorang secara formal berhenti dari tugasnya selama ini, bisa merupakan pilihan atau keharusan.
Para pensiunan terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang bahagia karena dapat menyelesaikan tugas dan pengabdiannya dengan lancar. Sebaliknya, ada juga yang mengalami ketidakpuasan atau kekecewaan akan kehidupannya.

Sindrom ini bisa dialami oleh pria maupun wanita, tergantung dari berbagai faktor, seperti ciri kepribadian, penghayatan terhadap makna dan tujuan kerja, pengalaman selama bekerja, pengaruh lingkungan keluarga dan budaya. Berbagai faktor tersebut menentukan keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri menghadapi masa pensiun. Post power syndrome merupakan tanda kurang berhasilnya seseorang menyesuaikan diri.

Tujuan bekerja tak hanya untuk memenuhi kebutuhan primer manusia, tapi secara psikologis, bekerja dapat memenuhi pencapaian identitas diri, status, ataupun fungsi sosial lainnya. Beberapa orang sangat menghargai prestise dan kekuasaan dalam kehidupannya, hal ini bisa diperoleh selama ia memegang jabatan atau mempunyai kekuasaan. Apalagi bila lingkungan kerjanya juga mengondisikan dirinya untuk terus memperoleh prestise tersebut, misalnya anak buah yang tak berani memberikan masukan untuk perbaikan atau adanya fasilitas berlebihan yang diberikan perusahaan baginya selama menjabat.

Masa pensiun bisa memengaruhi konsep diri karena pensiun menyebabkan seseorang kehilangan peran, status, dan identitasnya dalam masyarakat menjadi berubah sehingga dapat menurunkan harga diri. Bila anggota keluarga memandang pensiunan sebagai orang yang sudah tidak berharga lagi dan memperlakukan mereka secara buruk, bukan tak mungkin juga akan memicu munculnya sindrom ini.
Beberapa ciri kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome di antaranya adalah mereka yang senang dihargai dan dihormati orang lain, suka mengatur, ”gila jabatan”, menuntut agar permintaannya selalu dituruti, dan suka dilayani orang lain.

Secara ringkas disebut sebagai orang dengan need of power yang tinggi. Selain itu, ada pula mereka yang sebenarnya kurang kuat kepercayaan dirinya sehingga sebenarnya selalu membutuhkan pengakuan dari orang lain, melalui jabatannya dia merasa ”aman”.

Menghadapi penderita
Menghadapi orang yang sudah telanjur menderita memang diperlukan kesabaran luar biasa. Sebagai pasangan atau anggota keluarga yang serumah, pertama hendaknya memahami dulu bahwa penderita tidak sepenuhnya menyadari gejala yang dia alami. Tapi dengan melawan atau mencoba menyadarkan mereka secara langsung juga tidak bijak.

Lebih baik meminta pihak ketiga, yaitu seseorang yang cukup mendapat respek dari yang bersangkutan, untuk memberikan wejangan, atau melalui doa bersama, meditasi atau berzikir. Melalui kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, dia bisa belajar memahami bahwa ternyata kekuasaan itu tidak abadi.

Kedua, sebaiknya kita belajar menerima dia apa adanya, tidak merespons kemarahan dengan hal yang sama. Saya lebih menyarankan agar yang bersangkutan diusahakan untuk mempunyai berbagai aktivitas yang dapat menyalurkan emosi negatif atau ketidakpuasan hidupnya secara lebih konstruktif, seperti mengikuti kegiatan sosial yang menarik, diminta memberikan ceramah dengan topik yang dikuasainya ketika ada acara keluarga, mengajar keterampilan tertentu kepada orang yang memerlukan, menjalani hobi berkebun, dan berolahraga.
Agustine Dwiputri psikolog
Sumber : kompas.com

Komentar