- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Berulang kali pasangan melakukan kesalahan serupa. Perlukah dimaafkan?
For better, for worse.... Begitu janji pernikahan yang mengisyaratkan kita harus siap mendampingi pasangan dalam suka dan duka. Kalau mendampingi dalam suasana suka, tentu tak perlu ditanya betapa bahagianya. Tapi bagaimana kalau duka yang menghadang? Pasangan sedang tertimpa musibah? Celakanya, musibah itu merupakan bentuk dari kesalahannya sendiri dan konyolnya kesalahan itu dilakukan berulang kali.
Namun, apakah sebenarnya seseorang sebaiknya memaafkan kesalahan berat yang sama dari pasangannya? Terutama kesalahan fatal yang dapat membuat citra dirinya, pasangannya, maupun keluarganya menjadi sedemikian terpuruk?
KECENDERUNGAN BERULANG
Mengapa seseorang bisa melakukan kesalahan sampai dua kali? Bila dirunut dari perbuatannya, sering kali kesalahan tersebut merupakan perbuatan yang memang bersifat adiktif alias nagih karena menimbulkan kesenangan dan kenikmatan. Tak jarang pula dari hasil perbuatan pertama dia mendapat reward dari lingkungan yang mendorongnya untuk mengulanginya lagi. Dengan demikian memang ada kecenderungan siklus ini bakal berulang.
Dalam kasus-kasus penyalahgunaan narkotika, alkohol dan obat-obatan terlarang, sifat-sifat zat yang terkandung di dalamnya memang menimbulkan ketergantungan. Diperlukan mental dan kemauan yang keras untuk menghentikannya sama sekali. Namun yang sering terjadi, meski sudah "sembuh", begitu ada pemicu, semisal stres atau kekecewaan, yang bersangkutan umumnya akan kembali lagi ke narkoba yang dianggapnya sebagai "tempat pelarian" yang sebenarnya hanyalah semu belaka.
Penyebab lain yang bisa memicu seseorang melakukan kesalahan kedua adalah perselingkuhan. Tak heran kalau perselingkuhan juga diibaratkan sebagai ketergantungan.
Kecanduan seseorang pada alkohol, perselingkuhan, utang dan korupsi semestinya bisa ditangani agar yang bersangkutan tidak terjerembab lagi. Caranya? Tak lain tak bukan dengan kontrol diri yang tinggi, sehingga mampu menepis godaan dalam dirinya dan tidak mudah goyah. Intinya, setiap orang yang mampu berpikir seharusnya tidak pada tempatnya melakukan kesalahan untuk kedua kalinya atau entah ke berapa kalinya.
BERMODALKAN PENERIMAAN
Bila kesalahan serupa kembali dilakukan dan pasangan masih sudi memaafkan, pastilah terselip rasa kagum sekaligus keingintahuan banyak orang di sekitarnya bagaimana ia mampu berbesar hati sedemikian rupa. Padahal kesalahan kedua, ketiga dan seterusnya umumnya lebih pelik. Untuk memahaminya, lihatlah ke belakang bagaimana komitmen dan kedekatan pasangan tersebut dalam hidup perkawinan. Dalam ikatan perkawinan, ada 3 hal yang mencerminkan kehidupan internal perkawinan itu sendiri.
Selain tiga hal tadi ada juga faktor-faktor eksternal seperti materi/uang dan status. Nah, faktor internal dan eksternal ini secara bersama-sama kemudian memunculkan apa yang disebut acceptance/penerimaan kepada pasangan. Bisa saja ketiga hal itulah yang mendasari seorang istri/suami mampu dan mau memaafkan pasangannya yang melakukan kesalahan berulang. Seperti pada kasus Anna Maria, boleh jadi passion terhadap sang suami tidak berubah.
Bila pasangan berulang kali mengonsumsi narkoba, bisa jadi istri/suaminya kurang gigih membantunya melepaskan diri dari jerat narkoba. Kalau pasangan berusaha selalu ada di sampingnya, terutama pada masa-masa sulit, diharapkan si pemakai tak lagi mudah tergiur balik ke narkoba. Begitu pula kala suami bolak-balik terlibat penipuan atau penggelapan uang yang tujuannya untuk memperkaya rumah tangga.
Sumber : Dari Sini
For better, for worse.... Begitu janji pernikahan yang mengisyaratkan kita harus siap mendampingi pasangan dalam suka dan duka. Kalau mendampingi dalam suasana suka, tentu tak perlu ditanya betapa bahagianya. Tapi bagaimana kalau duka yang menghadang? Pasangan sedang tertimpa musibah? Celakanya, musibah itu merupakan bentuk dari kesalahannya sendiri dan konyolnya kesalahan itu dilakukan berulang kali.
Namun, apakah sebenarnya seseorang sebaiknya memaafkan kesalahan berat yang sama dari pasangannya? Terutama kesalahan fatal yang dapat membuat citra dirinya, pasangannya, maupun keluarganya menjadi sedemikian terpuruk?
KECENDERUNGAN BERULANG
Mengapa seseorang bisa melakukan kesalahan sampai dua kali? Bila dirunut dari perbuatannya, sering kali kesalahan tersebut merupakan perbuatan yang memang bersifat adiktif alias nagih karena menimbulkan kesenangan dan kenikmatan. Tak jarang pula dari hasil perbuatan pertama dia mendapat reward dari lingkungan yang mendorongnya untuk mengulanginya lagi. Dengan demikian memang ada kecenderungan siklus ini bakal berulang.
Dalam kasus-kasus penyalahgunaan narkotika, alkohol dan obat-obatan terlarang, sifat-sifat zat yang terkandung di dalamnya memang menimbulkan ketergantungan. Diperlukan mental dan kemauan yang keras untuk menghentikannya sama sekali. Namun yang sering terjadi, meski sudah "sembuh", begitu ada pemicu, semisal stres atau kekecewaan, yang bersangkutan umumnya akan kembali lagi ke narkoba yang dianggapnya sebagai "tempat pelarian" yang sebenarnya hanyalah semu belaka.
Penyebab lain yang bisa memicu seseorang melakukan kesalahan kedua adalah perselingkuhan. Tak heran kalau perselingkuhan juga diibaratkan sebagai ketergantungan.
Bukankah selingkuh menimbulkan kesenangan bagi si pelaku dan rasa senang ini umumnya akan terus dipelihara dengan cara melakukannya berulang-ulang. Kesalahan yang diulang dan diulang lagi, sering juga berkaitan dengan uang, seperti penipuan, terlibat utang-piutang, bahkan korupsi. Tentang hal ini bisa dimaklumi karena uang memang menimbulkan kesenangan sekaligus mengubah status sosial seseorang. Nah, bila lantaran perubahan ini ia mendapat penghargaan dari lingkungannya (tanpa melihat dari mana uang itu berasal) biasanya akan membuat si pelaku terus melakukannya yang akhirnya menimbulkan "kebiasaan" atau ketergantungan.
Kecanduan seseorang pada alkohol, perselingkuhan, utang dan korupsi semestinya bisa ditangani agar yang bersangkutan tidak terjerembab lagi. Caranya? Tak lain tak bukan dengan kontrol diri yang tinggi, sehingga mampu menepis godaan dalam dirinya dan tidak mudah goyah. Intinya, setiap orang yang mampu berpikir seharusnya tidak pada tempatnya melakukan kesalahan untuk kedua kalinya atau entah ke berapa kalinya.
BERMODALKAN PENERIMAAN
Bila kesalahan serupa kembali dilakukan dan pasangan masih sudi memaafkan, pastilah terselip rasa kagum sekaligus keingintahuan banyak orang di sekitarnya bagaimana ia mampu berbesar hati sedemikian rupa. Padahal kesalahan kedua, ketiga dan seterusnya umumnya lebih pelik. Untuk memahaminya, lihatlah ke belakang bagaimana komitmen dan kedekatan pasangan tersebut dalam hidup perkawinan. Dalam ikatan perkawinan, ada 3 hal yang mencerminkan kehidupan internal perkawinan itu sendiri.
Pertama, passion, yakni perasaan menyayangi, mencintai dan mengagumi pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kedua, closeness yang menggambarkan kedekatan dan intensitas pengenalan pada pasangan. Semakin dekat tentu suami/istri semakin mengenal pasangannya dan kian mudah berkomunikasi. Ketiga, adalah komitmen yang intinya saling setia dan berniat mempertahankan perkawinan apa pun yang terjadi.
Selain tiga hal tadi ada juga faktor-faktor eksternal seperti materi/uang dan status. Nah, faktor internal dan eksternal ini secara bersama-sama kemudian memunculkan apa yang disebut acceptance/penerimaan kepada pasangan. Bisa saja ketiga hal itulah yang mendasari seorang istri/suami mampu dan mau memaafkan pasangannya yang melakukan kesalahan berulang. Seperti pada kasus Anna Maria, boleh jadi passion terhadap sang suami tidak berubah.
Hal ini tampak saat ia berbicara di depan kamera tv, "Kalaupun dia ternyata bersalah, mas Roy tetap ayah dan suami yang baik bagi keluarga,’’ katanya dengan tegar. Seolah tampak seperti cinta buta, tapi sesungguhnya sebagai istri, ia pasti sudah membuat "perhitungan". Meski sedih dan mungkin malu, akan terasa lebih menyedihkan lagi baginya bila harus kehilangan orang yang dicintainya. Inilah yang disebut passion alias kekaguman dan cinta pada pasangan, terlepas dari perilaku negatifnya. Apalagi bila perilaku negatif tadi ternyata malah dijadikan bahan introspeksi bagi relasi mereka berdua. Tak heran meski suami masuk bui, ia tetap rela menunggu.
BERSEDIA INTROSPEKSI
Banyak psikolog perkawinan percaya, selingkuh sebenarnya adalah ekses atau dampak dari ketidakpuasan dan masalah di dalam rumah tangga. Penting untuk dikaji bersama, apa yang membuat pasangan mencari kesenangan di luar, apa yang menjadi problem mereka berdua kemudian bicarakan dan carikan solusinya bersama-sama. Bila perlu mintalah bantuan orang ketiga yang netral, di antaranya konselor perkawinan. Bila urusan domestik di rumah ini tidak pernah terselesaikan, bukan tak mungkin pasangan akan tetap melakukan affair di luar rumah.
BERSEDIA INTROSPEKSI
Banyak psikolog perkawinan percaya, selingkuh sebenarnya adalah ekses atau dampak dari ketidakpuasan dan masalah di dalam rumah tangga. Penting untuk dikaji bersama, apa yang membuat pasangan mencari kesenangan di luar, apa yang menjadi problem mereka berdua kemudian bicarakan dan carikan solusinya bersama-sama. Bila perlu mintalah bantuan orang ketiga yang netral, di antaranya konselor perkawinan. Bila urusan domestik di rumah ini tidak pernah terselesaikan, bukan tak mungkin pasangan akan tetap melakukan affair di luar rumah.
Bila pasangan berulang kali mengonsumsi narkoba, bisa jadi istri/suaminya kurang gigih membantunya melepaskan diri dari jerat narkoba. Kalau pasangan berusaha selalu ada di sampingnya, terutama pada masa-masa sulit, diharapkan si pemakai tak lagi mudah tergiur balik ke narkoba. Begitu pula kala suami bolak-balik terlibat penipuan atau penggelapan uang yang tujuannya untuk memperkaya rumah tangga.
Jangan-jangan karena istrinya high expectation dan high maintenance dengan pola hidup konsumtif, boros dan bergaya hidup tinggi sehingga selalu kekurangan uang.
Singkatnya, janji perkawinan "selagi senang berdua, selagi susah juga ditanggung bersama" merupakan janji luhur yang pantas dipegang sebagai komitmen perkawinan. Tapi ketika pasangan terjerembab oleh ulahnya sendiri, tugas kita selain menolongnya adalah mengajaknya membenahi kehidupan perkawinan.
Singkatnya, janji perkawinan "selagi senang berdua, selagi susah juga ditanggung bersama" merupakan janji luhur yang pantas dipegang sebagai komitmen perkawinan. Tapi ketika pasangan terjerembab oleh ulahnya sendiri, tugas kita selain menolongnya adalah mengajaknya membenahi kehidupan perkawinan.
Komitmen perkawinan bukanlah sebatas saling setia, tapi juga mampu menimbulkan kebanggaan di masing-masing pihak. Jika salah satu ada yang berulah, tentu menimbulkan rasa malu dan kecewa pada pasangannya, sehingga pada akhirnya menggerogooti kebahagiaan dalam perkawinan.
Sumber : Dari Sini
Komentar
Posting Komentar
Trimakasih Anda telah menyimak tulisan ini, sebaiknya Andapun menyimak sumber tulisan melalui link yang tersedia dan jika berkenan silahkan memberikan tanggapan.