Tempat Wisata di Malang

Menyakiti Bumi sama dengan Menyakiti Manusia

Pembahasan yang belakangan mulai marak diperbincangkan adalah mengenai global warming atau pemanasan global. Seberapa sering kita mendengar tentang pencairan es-es di Kutub yang akan menenggelamkan pulau-pulau di dunia? Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan akibat perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut, diperkirakan sekitar 2.000 pulau di Indonesia pada tahun 2030 akan tenggelam. Karena itu, berbagai upaya untuk memperlambat pemanasan global harus dilakukan (www.kompas.com). 

Dan seberapa sering juga kita mengabaikan hal tersebut karena merasa hal itu bukanlah kebutuhan yang mendesak? Memang pencairan es-es di Kutub dikatakan masih akan terjadi puluhan tahun di depan. Tetapi, itu hanya salah satu dampak akhir yang paling mengerikan yang akan terjadi jika pemanasan global terus terjadi. Sadarkah bahwa dampak lainnya sudah sangat terasa saat-saat ini?
Meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja. 

Contohnya di Jawa Timur bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi (Ashadi, 2007).
 
Setelah membaca kutipan artikel di atas, sadarkah bahwa dampak pemanasan global sudah semakin dekat dengan kita? Ini bukan lagi mengenai Kutub melainkan kota-kota di Indonesia. Pemanasan global membuat suhu kian meninggi dan hari-hari kita makin panas saja. Rachmat Witoelar mengatakan, dalam catatan rata-rata tahunan, tahun 1998 memiliki rekor suhu terpanas mencapai 26,5 derajat Celsius, naik 1 derajat Celsius dari rekor sebelumnya (www.kompas.com). Penulis ingin membahas dampak yang lebih spesifik lagi yaitu kepada kita masing-masing individu. Hal ini dilakukan agar kita semakin sadar bahwa kita tidak bisa lagi mengabaikan atau membiarkan bumi ini makin rusak karena ini sama saja dengan menyakiti diri kita sendiri.
 
Tahukah Anda bahwa pemanasan global dapat menjadi salah satu penyebab stres? Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kaitan pemanasan global dengan stres, ada baiknya kita mengetahui dengan singkat apa itu stres. Ketika kata stres diucapkan yang muncul dipikiran sebagian besar orang adalah suatu situasi yang membuat tidak nyaman.
 
Secara formal, stres dapat didefinisikan sebagai keadaan pikiran dan tubuh yang dapat menyelamatkan hidup kita di satu sisi namun disisi lain dapat menyebabkan tubuh menjadi lelah yang mengakibatkan tidak berfungsi dengan baik dan sakit (Girdano, 2005). Selain itu, menurut Taylor (1991), stres adalah suatu proses penilaian manusia terhadap suatu peristiwa (yang membahayakan, mengancam, sekaligus menantang), memperkirakan respon yang mungkin ditunjukkan; dalam hal ini respon yang dimunculkan oleh individu terhadap situasi-situasi tersebut termasuk respon fisiologis, kognitif, ataupun perubahan dalam tingkah laku. Jadi, dapat dikatakan bahwa stres tidak hanya memberi dampak negatif namun juga memiliki dampak positif. Lalu, reaksi terhadap stres dapat dilihat dari segi fisiologis, kognitif, maupun dalam tingkah laku.
 
Kemudian, apa itu pemanasan global dan bagaimana proses terjadinya? Pemanasan global merupakan salah satu efek dari adanya rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi akibat gas rumah kaca yang terkumpul di atmosfer membentuk selubung yang menghalangi radiasi panas matahari yang dipantulkan bumi tidak dapat lepas ke atmosfer (Ginting, 2004).
 
Tanpa ada efek rumah kaca di sistem iklim bumi, maka bumi menjadi tidak layak dihuni karena suhu bumi terlalu rendah (minus). Energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global. (Haneda,2004)
 
Apa hubungan hal ini dengan stres?
Ditinjau dari teori overload, suhu lingkungan yang terlalu tinggi menyebabkan meningkatnya beban psikis (stress) sehingga akhirnya akan menurunkan attention (Sarwono S.W, 1995). Menurut Gardner dan Stern (1996), suhu yang terlampau tinggi atau rendah tidak hanya mempengaruhi kondisi fisik seseorang, tetapi juga dapat menyebabkan stres.

Jika kita keluar rumah saat matahari sangat terik maka kita kadang merasa sangat pusing karena tubuh kita bereaksi terhadap proses adaptasi akan suhu yang tinggi. Pusing termasuk salah satu reaksi tubuh yang mungkin ditimbulkan karena tubuh kita belum bisa beradaptasi dengan baik dengan suhu di luar rumah. Hal tersebut dapat memicu terjadinya stres pada diri kita. Saat di rumah kita masih terlindungi oleh sebuah bangunan hingga tidak langsung merasakan sinar matahari yang menyengat. Apalagi terdapat pula fasilitas-fasilitas yang dapat menjauhkan diri dari rasa panas yang berlebihan. Kini tidak jarang pula saat kita pergi di pagi hari yang dirasa cerah ternyata siang hujan lebat, pagi hari yang mendung ternyata siang cerah.
 
Perubahan ini tidak hanya terjadi sesekali namun berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Bukannya mustahil, jika kekebalan tubuh kita berkurang. Reaksi tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Sarwono, 1995). Saat perubahan dari panas terik menjadi hujan maka tubuh kita harus kembali beradaptasi dengan suhu udara yang tiba-tiba turun. Lalu, saat matahari kembali bersinar maka tubuh harus kembali beradaptasi dengan suhu udara yang tiba-tiba naik kembali. Suhu tubuh harus tetap sekitar 37°C. Jika suhu tubuh lebih rendah dari 25°C atau lebih tinggi dari 55°C, orang akan mati (Sarwono, 1995).
 
Reaksi tubuh setiap orang tentunya berbeda-beda dalam menghadapi tantangan perubahan cuaca yang cukup ekstrem ini. Ada yang biasa-biasa saja namun ada pula yang tidak kuat. Andrew Dobson, dari Princeton Univesity, mengatakan, perubahan cuaca dapat mempengaruhi ekosistem alam yang makin menguntungkan kelangsungan hidup penyakit menular. Bukti-bukti yang terkumpul bisa mencemaskan, manusia akan mendapat penyakit bersama-sama dengan makhluk lain (climatechange.menlh.go.id).
Kalau upaya reaksi tubuh gagal mempertahankan suhu tubuh, kemungkinan akan terjadi hal-hal sebagai berikut.
  1. Heat exhaustion: rasa lelah yang sangat kuat akibat panas disertai dengan rasa mual, mau muntah, sakit kepala, dan gelisah.
  2. Heat stroke: delirium (mengigau), koma (tidak sadar), dan akhirnya meninggal dunia akibat otak terserang panas berlebihan.
  3. Heat aesthenia: jenuh, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung, nafsu makan kurang, dan tidak bisa tidur (insomnia) dengan sebab tidak jelas.
  4. Serangan jantung: jantung bekerja terlalu kuat mengedarkan darah ke seluruh tubuh untuk menurunkan suhu. (Sarwono, 1996. h. 90)
Di atas adalah sedikit pembahasan mengenai reaksi-reaksi yang mungkin timbul dalam proses beradaptasi dengan suhu baru. Dalam tubuh manusia, terdapat organ yang bertugas mempertahankan suhu tubuh. Organ tersebut adalah hyphotalamus. Jika suhu lingkungan meningkat, hipotalamus akan merangsang pembesaran pori-pori kulit, percepatan peredaran darah, pengeluaran keringat, dan reaksi-reaksi tubuh lain yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan (Sarwono, 1995).
Setelah membaca reaksi-reaksi yang mungkin timbul, pikirkan kembali apakah hal di atas pernah Anda alami sebelumnya? Jika ya mungkin tubuh anda mulai mengalami masalah dengan perubahan suhu. Dan bukan hal yang mustahil bila Anda mungkin telah sampai pada kondisi stres, maka hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengenali sumber stres.
 
Sumber stres seringkali disebut stresor. Stresor adalah segala kondisi atau peristiwa yang menimbulkan respon stres (Girdano,2005). Dalam kaitannya dengan masalah ini, lingkungan yang telah tersakiti oleh ulah manusia, kini berbalik menyakiti manusia itu sendiri. Stresor yang berasal dari lingkungan memiliki ruang lingkup yang cukup besar- sebagai elemen dari lingkungan seseorang yang tidak menyenangkan dan atau mangancam kesehatan seseorang (Gardner& Stern, 1996). Perubahan iklim yang kini terjadi di kota-kota di Indonesia mulai menimbulkan rasa-rasa tidak nyaman.
 
Meningkatnya suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, malaria. (Ashadi, 2007). Kebanyakan binatang penyebar penyakit ini, misalnya nyamuk, binatang pengerat dan kutu, sangat peka terhadap kenaikan suhu serta kelembaban. Masa reproduksi, pertumbuhan dan gigitan serangga rata-rata akan naik saat terjadi kenaikan suhu (climatechange.menlh.go.id).
 
Setelah ditelusuri lebih dalam, diketahui bahwa sumber stres yang berasal dari lingkungan telah dibagi menjadi beberapa bagian. Menurut Girdano (2005), ada 5 kelas stimulus lingkungan yang berperan dalam menyebabkan stres, yaitu (1) Ritme waktu dan tubuh; (2) kebiasaan pola makan dan minum; (3) obat-obatan, termasuk alkohol dan nikotin; (4) polusi suara; (5) perubahan iklim dan ketinggian. Merujuk pada poin ke 5, bahwa perubahan iklim dan ketinggian dapat menyebabkan stres.
 
Ini sebenarnya biasa dialami oleh orang–orang yang berpergian dari suatu daerah ke daerah lain. Misalnya, pelajar-pelajar Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri yang memiliki musim berbeda dengan disini. Jika persiapan pengetahuan akan iklim disana kurang akan dapat menyebabkan stres. Hal yang cukup mengerikan untuk diketahui adalah stres akibat perubahan iklim kini dapat dirasakan di negara kita sendiri tanpa perlu berpergian ke negara lain. Ini merupakan dampak negatif yang signifikan dari pemanasan global yang terjadi saat ini. Cukup mengerikan bukan?
 
Jika gejala-gejala yang Anda rasakan baik secara fisik, kognitif, emosi, maupun tingkah laku telah menunjukkan tanda-tanda stres akibat pemanasan global, maka yang perlu dilakukan adalah mengetahui cara menguranginya. Janganlah ragu untuk mulai mengurangi stres dalam diri kita akibat peningkatan suhu yang telah tejadi selama ini! Sebuah studi selama 20 tahun oleh The University of London school of Medicine telah menetapkan bahwa reaksi emosional dan mental yang tak terkontrol terhadap stres akan memunculkan satu faktor yang lebih berbahaya bagi penyakit kanker dan penyakit jantung dibandingkan dengan faktor kebiasaan merokok atau makan makanan berkolesterol tinggi (Childre, 2001).
 
Stres harus dikurangi agar sampai kembali ke tahap yang seimbang. Untuk mencapai tahap yang seimbang, perlu dilakukan penyesuaian kembali (coping) karena jika tidak akan memberi dampak yang sangat buruk terutama bagi diri sendiri. Coping stres merupakan usaha seseorang dalam menghadapi stres dan mengatasi ancaman maupun tantangan (Pestonjee, 1999).
 
Lalu, Lazarus dan Folkman (dalam Wolchik & Sandler, 1997) melihat coping stress sebagai suatu tindakan aktif di dalam menghadapi situasi stressful. Dalam penelitiannya mengenai coping strategy, Folkman, Lazarus, dkk (Folkman, Lazarus, Dunkel, Schetter, De Longis, dan Gruen, 1986 dalam Taylor, 1991) mengungkapkan 8 jenis coping strategies, dimana terbagi dalam 2 gaya coping stress, yaitu problem- focused coping dan Emotion- focused coping. Tidak ada salah satu gaya yang lebih baik dari kedua gaya di atas. Kedua-duanya sama-sama efektif untuk mengurangi tingkat stres dalam diri.
Jika ingin melakukan emotion-focused coping, dengan berpegang pada penelitian tadi, ada 5 cara yang dapat dilakukan, yaitu mengontrol diri, melepaskan diri, penilaian kembali secara positif, menerima tanggung jawab, atau menghindar. 

Maka hal-hal yang dapat diperbuat untuk mengatasi masalah stres akibat pemanasan global adalah pertama-tama sadar diri. Dengan menyadari bahwa diri kita sendiri mungkin termasuk salah satu orang yang ikut berperan dalam kerusakan lingkungan sehingga terjadi pemanasan global. Kemudian menerima yang telah terjadi sehingga stres dapat sedikit berkurang. Lalu, berpikirlah positif bahwa masih ada yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau memperlambat kerusakan bumi ini. Setelah emosi dalam diri kita dapat diredakan dan stres mulai berkurang barulah melanjutkan ke gaya problem-focused coping.

Masih berdasarkan penelitian mengenai coping strategies, gaya problem-focused coping, ada 3 cara yang dapat dilakukan , yaitu cara konfrontatif, mencari dukungan sosial, atau merencanakan pemecahan masalah. Cara konfrontatif dapat direalisasikan dengan menyuarakan langsung ke orang lain bagaimana dampak pemanasan global dan cara mengatasinya. 

Dapat dilakukan misalnya dengan ikut demo, membagikan selebaran, atau dari mulut ke mulut. Usaha ini lebih bersifat agresif untuk mengubah situasi. Lalu, dapat juga mencari dukungan sosial dengan bertanya kepada teman atau orang lain yang lebih memiliki pengetahuan akan masalah lingkungan. Dengan bertanya maka akan dapat diketahui cara mengatasi yang paling efektif. Kemudian, jika memilih merencanakan pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menganalisa bagaimana pemanasan global bisa terjadi dan kemudian merencanakan pemecahan yang bisa dilakukan untuk mengurangi pemanasan global.
 
Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres akibat pemanasan global adalah dengan rutin berolahraga. Rutin berolahraga membuat tubuh menjadi bugar dan tidak rentan terkena penyakit. Dengan demikian rasa tidak nyaman terhadap lingkungan dapat diminimalisir.
 
Setelah membaca tulisan ini, penulis berharap ini berguna sebagai peringatan bahwa pemanasan global dapat menjadi salah satu penyebab stres pada diri Anda. Serta dapat memberikan sedikit pengetahuan mengenai bagaimana cara mengatasinya. Jadi, jangan ragu untuk kembali mencintai bumi karena mencintai bumi sama dengan mencintai manusia.
 
By Helen  (Lihat Sumber.)

Komentar