- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pertengahan tahun begini, sebagian orang tua yang punya anak lulusan SD dan SMP turut berjibaku mencarikan sekolah bagi anak-anak mereka. Si anak, dengan semua potensi dan kompetensi yang dimiliki, berjuang agar masuk ke sekolah idamannya. Minggu-minggu ini, masih ada yang baru tes, ada yang sudah harap-harap cemas, dan sebagian lagi harus mengakhiri liburan lebih cepat karena harus menjalani MOS sekolah baru.
Yang sudah akan memulai MOS, sebagian berangkat dengan bangga, yang lain dengan kurang bangga, ada yang murung, bahkan rasanya ada yang tidak optimis. Yang bangga dan gembira, mungkin dikarenakan sekolah yang menampung mereka adalah sekolah favorit. Yang lain merasa biasa saja, karena sekolahnya ya biasa saja. Ada pula yang ternyata tidak cukup bangga dengan sekolah barunya.
Sekolah favorit selalu dicari dan dijadikan rujukan, itu sudah berlaku sejak dulu. Ada yang favorit di sebuah wilayah, dan favorit dengan pengakuan umum.
Pendidikan adalah hak semua warga negara, dan untuk menyediakannya tidak sekedar ada guru dan kurikulum, melainkan juga bangunan permanen, buku, dan sarana – prasarana lainnya. Itu semua butuh biaya dan menjadi penyeleksi alam institusi pendidikan tidak jelas yang sempat menjamur. Perlahan tapi pasti, sekolah-sekolah yang tidak bermutu akan tutup. Dengan peraturan yang baru, sekolah yang punya mutu dan calon murid pun bila tidak punya gedung sendiri harus tutup.
Tapi, apakah pendidikan harus mahal? Bahkan sangat mahal. Pertanyaan yang mudah tapi sangat sulit dicari jawabannya. Bila bicara soal pendidikan, sudah pasti bicara tentang manpower-nya yakni guru. Dan guru di Indonesia belum semua menikmati kehormatan dan penghormatan semestinya, sebagai pencetak generasi baru. Mereka yang beruntung menjadi guru sekolah negeri mungkin sudah lebih baik, karena menikmati gaji dengan standar baru yang ditetapkan pemerintah. Mungkin, sekarang ini guru negeri tidak perlu lagi bekerja ganda mengajar sekolah swasta untuk menambah penghasilan. Sebaliknya, sekolah swasta harus menggali lebih dalam kantong orang tua siswa bila tidak mau guru-gurunya hengkang menjadi pegawai negeri. Pendidikan yang semakin baik akan membentuk generasi muda yang lebih baik pula, dan generasi muda yang lebih baik menjanjikan perkembangan bangsa ke arah yang kita inginkan bersama.
Banyak pakar yang mempertanyakan, kemana sebenarnya arah pendidikan bangsa ini. Semau fasilitas sekolah – yang tidak terkait langsung dengan pendidikan – dibangun untuk kenyamanan siswa dan guru, tetapi biayanya harus ditanggung oleh orang tua. Gedung-gedung ber-AC, multimedia yang mewah, penggunaan internet untuk perkuliahan, dan semacamnya sekarang ini menjadi trend. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan masa 10 – 20 tahun silam. Tapi, apakah output-nya sudah benar-benar jauh lebih baik daripada masa-masa sebelumnya? Dengan semua kemahalan fasilitas atau sarana-prasarana belajar-mengajar itu, apa perbedaan lulusan dulu dengan lulusan sekarang?
Dalam sebuah feature di koran Jawa Pos beberapa waktu lalu, sempat diulas pendidikan di India yang jauh lebih murah daripada di negara-negara lain – termasuk Indonesia. Dikatakan bahwa, biaya sekolah S-2 per-semester hanya sekitar 10 juta rupiah (sementara di Indonesia untuk biaya kuliah – tidak termasuk biaya buku dan lainnya bisa mencapai 10 – 15 juta persemester), itupun sudah termasuk biaya asrama kampus.
Dari semua anak yang bersekolah di SMA favorit dan masuk ke perguruan tinggi negeri ternama, rasanya tidak sampai 30% yang sadar benar alasan mereka masuk ke sana. Yang penting sekolah di tempat elite, masuk ke fakultas yang bergengsi. Kalau sekolah saja sudah tanpa visi yang jelas, bagaimana anak tersebut bisa membangun jati dirinya melalui pendidikan yang ditempuh? tidak mengherankan bila banyak sarjana kita yang “tersasar” ke pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang studinya. Sekolahnya hukum, ujungnya bekerja di perbankan, seorang teman yang sarjana psikologi sampai sekarang betah sekali menjadi detailer obat, sekretaris, atau hanya tenaga administrasi biasa.
Jadi, bagaimana sebenarnya ukuran keberhasilan seseorang dalam studi? Mencapai atau memperoleh pendidikan di sekolah favorit, atau berhasil memperoleh pekerjaan seperti yang diidamkan. Sudah jamak di masyarakat, seseorang dari sekolah terbaik, dan dari jurusan idaman, tidak berakhir dengan mata pencaharian atau pekerjaan yang diidamkan. Sebaliknya, ada orang yang ketika sekolah biasa-biasa saja tetapi menemukan tempat kerja idaman, bekerja di perusahaan oil & gas yang bergaji tinggi. Kelihatannya unfair, tetapi itu adalah kenyataan.
Bekerja di “tempat basah” saya yakin masih menjadi impian banyak lulusan baru, atau siapapun yang belum dapat pekerjaan. Institusi keuangan, bagian logistik sebuah BUMN, bagian pembelian, termasuk di bagian kepegawaian, menjadi incaran karena diprediksi bisa mendatangkan keuntungan secara cepat. Apakah keuntungan itu halal? Tidak penting. Tapi, apakah bekerja seperti ini adalah sebuah prestasi?
Mungkin, dari diri kita sendiri dan anak kita, perlu mengevaluasi diri dan memperjelas definisi sukses itu. Kalau sukses adalah nilai uang, kaya, punya rumah dan mobil mewah – maka Gayus dan sederet koruptor yang sekarang sudah dibui (atau masih dalam proses) adalah orang sukses yang sedang sial. Koruptor yang masih berkeliaran adalah orang sukses yang beruntung.
Akan tetapi, kalau sukses itu adalah be a better person, banyak hal yang kita align karena tolok ukur kebaikan sekalipun universal tetapi tidak uniform. Sekolah adalah ajang pendadaran jiwa dan raga, agar menjadi seseorang yang mempunyai jati diri – identitas kepribadian yang jelas. Banyak pelajar yang menganggap sekolah sebagai ruang hukuman, dan berusaha lari dari kewajiban. Mengapa pelajar tidak suka belajar? Itu adalah PR bagi penyelenggara pendidikan – dan harus mengatasinya. Pelajar harus jadi suka belajar, tidak lagi bolos dan berkeliaran di mall.
Kalau sukses adalah be a better person, kita perlu me-redefinisikan makna sukses. Kekayaan mungkin adalah bagian dari sukses, tetapi sukses tidak selalu harus kaya secara finansial. Seperti yang ditekankan dalam ayat suci Al-Qur’an: Kalau manusia mencari dunia, maka dia hanya mendapatkan dunia. Akan tetapi, bila manusia itu mencari akhirat, dia akan memperoleh dunia dan akhirat. Sebuah dogma yang bermakna dalam.
Yang sudah akan memulai MOS, sebagian berangkat dengan bangga, yang lain dengan kurang bangga, ada yang murung, bahkan rasanya ada yang tidak optimis. Yang bangga dan gembira, mungkin dikarenakan sekolah yang menampung mereka adalah sekolah favorit. Yang lain merasa biasa saja, karena sekolahnya ya biasa saja. Ada pula yang ternyata tidak cukup bangga dengan sekolah barunya.
Sekolah favorit selalu dicari dan dijadikan rujukan, itu sudah berlaku sejak dulu. Ada yang favorit di sebuah wilayah, dan favorit dengan pengakuan umum.
Di tiap-tiap kota selalu ada sekolah semacam itu, menjadi idaman bagi orang tua dan pelajar, biasanya SMP-SMA Negeri. Akan tetapi, ada juga sekolah favorit yang didirikan oleh swasta, sehingga tentu saja investasi yang dikeluarkan oleh orang tua juga melangit. Belakangan, sekolah umum swasta yang bernafaskan agama lebih menjadi favorit – bahkan dibandingkan sekolah negeri sekalipun.
Tentu saja, logis bila kemudian sekolah-sekolah ini dijubeli orang tua yang merasa pe-de anaknya bisa masuk ke sekolah favorit tersebut. Para orang tua yang care pada pendidikan anak sudah pasti tidak ingin anaknya masuk ke sekolah dengan mutu yang tidak terpetakan. Bukan hanya satu sekolah, orang tua harus membuat cadangan dengan memasukkan beberapa salinan berkas ke sekolah yang lain.Itu berarti biaya tambahan yang bisa hilang separuh bila anak masuk ke sekolah negeri. Masuk sekolah baru berarti biaya … biaya … biaya … dan biaya lagi dan jumlahnya mencapai nilai jutaan (itu yang dirasakan orang tua, karena uang yang dikeluarkan sudah tidak jelas lagi arahnya pada investasi atau biaya).
Pendidikan adalah hak semua warga negara, dan untuk menyediakannya tidak sekedar ada guru dan kurikulum, melainkan juga bangunan permanen, buku, dan sarana – prasarana lainnya. Itu semua butuh biaya dan menjadi penyeleksi alam institusi pendidikan tidak jelas yang sempat menjamur. Perlahan tapi pasti, sekolah-sekolah yang tidak bermutu akan tutup. Dengan peraturan yang baru, sekolah yang punya mutu dan calon murid pun bila tidak punya gedung sendiri harus tutup.
Tapi, apakah pendidikan harus mahal? Bahkan sangat mahal. Pertanyaan yang mudah tapi sangat sulit dicari jawabannya. Bila bicara soal pendidikan, sudah pasti bicara tentang manpower-nya yakni guru. Dan guru di Indonesia belum semua menikmati kehormatan dan penghormatan semestinya, sebagai pencetak generasi baru. Mereka yang beruntung menjadi guru sekolah negeri mungkin sudah lebih baik, karena menikmati gaji dengan standar baru yang ditetapkan pemerintah. Mungkin, sekarang ini guru negeri tidak perlu lagi bekerja ganda mengajar sekolah swasta untuk menambah penghasilan. Sebaliknya, sekolah swasta harus menggali lebih dalam kantong orang tua siswa bila tidak mau guru-gurunya hengkang menjadi pegawai negeri. Pendidikan yang semakin baik akan membentuk generasi muda yang lebih baik pula, dan generasi muda yang lebih baik menjanjikan perkembangan bangsa ke arah yang kita inginkan bersama.
Banyak pakar yang mempertanyakan, kemana sebenarnya arah pendidikan bangsa ini. Semau fasilitas sekolah – yang tidak terkait langsung dengan pendidikan – dibangun untuk kenyamanan siswa dan guru, tetapi biayanya harus ditanggung oleh orang tua. Gedung-gedung ber-AC, multimedia yang mewah, penggunaan internet untuk perkuliahan, dan semacamnya sekarang ini menjadi trend. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan masa 10 – 20 tahun silam. Tapi, apakah output-nya sudah benar-benar jauh lebih baik daripada masa-masa sebelumnya? Dengan semua kemahalan fasilitas atau sarana-prasarana belajar-mengajar itu, apa perbedaan lulusan dulu dengan lulusan sekarang?
Dalam sebuah feature di koran Jawa Pos beberapa waktu lalu, sempat diulas pendidikan di India yang jauh lebih murah daripada di negara-negara lain – termasuk Indonesia. Dikatakan bahwa, biaya sekolah S-2 per-semester hanya sekitar 10 juta rupiah (sementara di Indonesia untuk biaya kuliah – tidak termasuk biaya buku dan lainnya bisa mencapai 10 – 15 juta persemester), itupun sudah termasuk biaya asrama kampus.
Pengajarnya langsung guru besar atau Doktornya sendiri, bukan para asisten sebagaimana yang lazim di Indonesia (karena sang guru besar dan Doktor juga harus hadir di tempat lain yang mendatangkan uang lebih besar). Akan tetapi, jangan harap ada kemewahan. Ruangan kelasnya kuno, kursi kuliahnya model lama dari kayu, penyejuknya kipas angin di langit-langit, dan masih menggunakan papan tulis kapur. Akan tetapi, istimewanya, India sekarang merupakan salah satu negara outsourcing IT Amerika yang terbesar. Pelaku ekonomi di Wallstreet, dokter di rumah-rumah sakit di AS, banyak merupakan jebolan sekolah-sekolah di India sebelum mengambil master atau spesialis di Amerika. Bukan hanya 1 – 2 orang, tetapi sudah berbilang prosentase.
Dari semua anak yang bersekolah di SMA favorit dan masuk ke perguruan tinggi negeri ternama, rasanya tidak sampai 30% yang sadar benar alasan mereka masuk ke sana. Yang penting sekolah di tempat elite, masuk ke fakultas yang bergengsi. Kalau sekolah saja sudah tanpa visi yang jelas, bagaimana anak tersebut bisa membangun jati dirinya melalui pendidikan yang ditempuh? tidak mengherankan bila banyak sarjana kita yang “tersasar” ke pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang studinya. Sekolahnya hukum, ujungnya bekerja di perbankan, seorang teman yang sarjana psikologi sampai sekarang betah sekali menjadi detailer obat, sekretaris, atau hanya tenaga administrasi biasa.
Jadi, bagaimana sebenarnya ukuran keberhasilan seseorang dalam studi? Mencapai atau memperoleh pendidikan di sekolah favorit, atau berhasil memperoleh pekerjaan seperti yang diidamkan. Sudah jamak di masyarakat, seseorang dari sekolah terbaik, dan dari jurusan idaman, tidak berakhir dengan mata pencaharian atau pekerjaan yang diidamkan. Sebaliknya, ada orang yang ketika sekolah biasa-biasa saja tetapi menemukan tempat kerja idaman, bekerja di perusahaan oil & gas yang bergaji tinggi. Kelihatannya unfair, tetapi itu adalah kenyataan.
Bekerja di “tempat basah” saya yakin masih menjadi impian banyak lulusan baru, atau siapapun yang belum dapat pekerjaan. Institusi keuangan, bagian logistik sebuah BUMN, bagian pembelian, termasuk di bagian kepegawaian, menjadi incaran karena diprediksi bisa mendatangkan keuntungan secara cepat. Apakah keuntungan itu halal? Tidak penting. Tapi, apakah bekerja seperti ini adalah sebuah prestasi?
Mungkin, dari diri kita sendiri dan anak kita, perlu mengevaluasi diri dan memperjelas definisi sukses itu. Kalau sukses adalah nilai uang, kaya, punya rumah dan mobil mewah – maka Gayus dan sederet koruptor yang sekarang sudah dibui (atau masih dalam proses) adalah orang sukses yang sedang sial. Koruptor yang masih berkeliaran adalah orang sukses yang beruntung.
Akan tetapi, kalau sukses itu adalah be a better person, banyak hal yang kita align karena tolok ukur kebaikan sekalipun universal tetapi tidak uniform. Sekolah adalah ajang pendadaran jiwa dan raga, agar menjadi seseorang yang mempunyai jati diri – identitas kepribadian yang jelas. Banyak pelajar yang menganggap sekolah sebagai ruang hukuman, dan berusaha lari dari kewajiban. Mengapa pelajar tidak suka belajar? Itu adalah PR bagi penyelenggara pendidikan – dan harus mengatasinya. Pelajar harus jadi suka belajar, tidak lagi bolos dan berkeliaran di mall.
Kalau sukses adalah be a better person, kita perlu me-redefinisikan makna sukses. Kekayaan mungkin adalah bagian dari sukses, tetapi sukses tidak selalu harus kaya secara finansial. Seperti yang ditekankan dalam ayat suci Al-Qur’an: Kalau manusia mencari dunia, maka dia hanya mendapatkan dunia. Akan tetapi, bila manusia itu mencari akhirat, dia akan memperoleh dunia dan akhirat. Sebuah dogma yang bermakna dalam.
Sumber: Mercusuar Qolbu (http://mercusuarku.wordpress.com)
Komentar
Posting Komentar
Trimakasih Anda telah menyimak tulisan ini, sebaiknya Andapun menyimak sumber tulisan melalui link yang tersedia dan jika berkenan silahkan memberikan tanggapan.